Sri Mulyani Minta Restu DPR Soal Pajak Intip Rekening
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberikan persetujuan terkait dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Hal tersebut dilakukan pada saat rapat kerja dengan Komisi XI mengenai penjelasan pemerintah terhadap RUU tentang penetapan Perppu Nomor 1/2017 di Ruang Rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia menjadi negara yang sepakat untuk menetapkan automatic exchange of information (AEoI) pada September 2018 bersama 50 negara lainnya. Sebelum menerapkannya, pemerintah harus memiliki aturan yang telah disiapkan paling lambat pada 30 Juni 2017.
Implementasi AEoI telah disepakati oleh 100 negara yang mana 50 negara akan menerapkan di September 2017, dan 50 negara lainnya pada September 2018.
"93 negara sepakat untuk menerapkan dengan melakukan penandatanganan secara multilaretal (Multilateral Competent Authority Agreement/MCAA), dan ada juga seperti Hong Kong, Brunei, Swiss, melalui bilateral (BCAA)," kata Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, pentingnya persetujuan DPR terkait Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi UU, agar Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang tidak melanggar komitmen implementasi.
Perpu Nomor 1/2017, juga menjadi syarat yang telah ditentukan oleh OECD sebagai aturan primer yang disiapkan masing-masing negara yang ingin menerapkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
"Syarat untuk mengimplementasikan, harus ada UU, legislasi primer dan legislasi sekunder di bawah UU. Kalau tidak ada atau belum memiliki maka negara akan masuk ke dalam negara yang failing to match the commitment untuk implementasikan," jelas Sri Mulyani.
Dampak yang akan diterima oleh Indonesia jika tidak memiliki aturan UU keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan ini juga membuat gerak gerik Indonesia di dunia internasional tercoreng..
"Kegagalan kita dalam menerbitkan legislasi primer akan merugikan Indonesia sendiri, yang berdampak pada reputasi karena tidak memiliki level flying field, dan menjadi negara yang tidak transparansi, dan dianggap sebagai negara yang mendanai terorisme, Indonesia juga akan dirugikan kompetisi kemudahan berusaha, dengan prinsip resiprokal kerugian nyata karena tidak akan memiliki data keuangan WNI yang ada di luar negeri, baik yang sudah maupun yang tidak ikut tax amnesty," jelas dia.
Apalagi, kata Sri Mulyani, penerimaan sektor perpajakan beberapa tahun belakangan juga realisasinya jauh dari target yang dikarenakan terbatasnya akses Ditjen Pajak. Di mana, pada 2016, target yang telah direvisi hanya mampu dipenuhi 82% itupun dengan catatan adanya tambahan penerimaan dari tax amnesty.
Dengan kegentingan tersebut, kata Sri Mulyani, pemerintah melalui Kementerian Keuangan meminta Komisi XI untuk memberikan persetujuan terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017.
"Kami mohon dengan penjelasan yang sudah di sampaikan, atas nama presiden mohon kiranya DPR dapat menyetujui Perppu untuk menjadi UU," tukas dia. (mkj/mkj) Sumber detik.com
Hal tersebut dilakukan pada saat rapat kerja dengan Komisi XI mengenai penjelasan pemerintah terhadap RUU tentang penetapan Perppu Nomor 1/2017 di Ruang Rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Sri Mulyani mengatakan, Indonesia menjadi negara yang sepakat untuk menetapkan automatic exchange of information (AEoI) pada September 2018 bersama 50 negara lainnya. Sebelum menerapkannya, pemerintah harus memiliki aturan yang telah disiapkan paling lambat pada 30 Juni 2017.
Implementasi AEoI telah disepakati oleh 100 negara yang mana 50 negara akan menerapkan di September 2017, dan 50 negara lainnya pada September 2018.
"93 negara sepakat untuk menerapkan dengan melakukan penandatanganan secara multilaretal (Multilateral Competent Authority Agreement/MCAA), dan ada juga seperti Hong Kong, Brunei, Swiss, melalui bilateral (BCAA)," kata Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, pentingnya persetujuan DPR terkait Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi UU, agar Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang tidak melanggar komitmen implementasi.
Perpu Nomor 1/2017, juga menjadi syarat yang telah ditentukan oleh OECD sebagai aturan primer yang disiapkan masing-masing negara yang ingin menerapkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
"Syarat untuk mengimplementasikan, harus ada UU, legislasi primer dan legislasi sekunder di bawah UU. Kalau tidak ada atau belum memiliki maka negara akan masuk ke dalam negara yang failing to match the commitment untuk implementasikan," jelas Sri Mulyani.
Dampak yang akan diterima oleh Indonesia jika tidak memiliki aturan UU keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan ini juga membuat gerak gerik Indonesia di dunia internasional tercoreng..
"Kegagalan kita dalam menerbitkan legislasi primer akan merugikan Indonesia sendiri, yang berdampak pada reputasi karena tidak memiliki level flying field, dan menjadi negara yang tidak transparansi, dan dianggap sebagai negara yang mendanai terorisme, Indonesia juga akan dirugikan kompetisi kemudahan berusaha, dengan prinsip resiprokal kerugian nyata karena tidak akan memiliki data keuangan WNI yang ada di luar negeri, baik yang sudah maupun yang tidak ikut tax amnesty," jelas dia.
Apalagi, kata Sri Mulyani, penerimaan sektor perpajakan beberapa tahun belakangan juga realisasinya jauh dari target yang dikarenakan terbatasnya akses Ditjen Pajak. Di mana, pada 2016, target yang telah direvisi hanya mampu dipenuhi 82% itupun dengan catatan adanya tambahan penerimaan dari tax amnesty.
Dengan kegentingan tersebut, kata Sri Mulyani, pemerintah melalui Kementerian Keuangan meminta Komisi XI untuk memberikan persetujuan terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017.
"Kami mohon dengan penjelasan yang sudah di sampaikan, atas nama presiden mohon kiranya DPR dapat menyetujui Perppu untuk menjadi UU," tukas dia. (mkj/mkj) Sumber detik.com