Saran untuk Jokowi Agar Setoran Pajak Tak Melulu Loyo

Saran untuk Jokowi Agar Setoran Pajak Tak Melulu Loyo Harri Razali Tax Consuting - Konsultan Pajak Jakarta
Jakarta - Janji Sri Mulyani Indrawati ketika awal menjabat Menteri Keuangan adalah menciptakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel. Sri Mulyani sempat menuai pujian ketika selamatkan APBN 2016, namun untuk tahun ini, Ia pun diragukan.

Target pajak tahun ini awalnya adalah Rp 1.307,6 triliun, termasuk pajak minyak dan gas bumi (migas). Jalan setengah tahun, ternyata target itu dianggap masih tinggi, sehingga ada kemungkinan realisasinya kurang dari target sebesar Rp 50 triliun yang kemudian direvisi lagi menjadi Rp 30 triliun.

"Menilik pada pengalaman rata rata 10 tahun terakhir ini biasanya RAPBN-P memang menurunkan target penerimaan pajak dari APBN aslinya dan celakanya realisasi akhirnya juga akan lebih turun lagi," ungkap Mantan Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, dalam keterangannya kepada detikFinance, Jumat (14/7/2017).

Apalagi konsekuensi yang harus ditempuh adalah penambahan utang sebagai rentetan dari defisit anggaran yang melebar. Total utang pemerintah hingga akhir Mei 2017 mencapai Rp 3.672 triliun. Utang negara yang akan jatuh tempo sampai dengan 2019 adalah Rp 780 triliun.

"Meskipun rasio utang negara terhadap PDB masih di bawah 30% (dari batas maksimal 60%), tetapi bila dilihat dari kekuatan likuiditas atau rasionya terhadap APBN, yaitu kewajiban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya sudah cukup memprihatinkan," jelasnya.

Catatan buruk lainnya adalah pada defisit keseimbangan primer dalam lima tahun terakhir. Menurut Fuad, defisit semakin besar menunjukkan pengelolaan anggaran yang buruk.

"Pemerintah tidak semata-mata gali lubang tutup lubang tetapi memang menggali lubang yang lebih besar sebab sebagian utang baru itu di gunakan untuk membayar bunga utang lama," kata Fuad.

Fuad menilai langkah reformasi pajak tidak akan cukup untuk menyelesaikan persoalan sekarang. Apalagi kemudian berharap penuh pada Automatic Exchange of Information (AEoI), di mana nantinya Ditjen Pajak bisa mengakses rekening warga negara Indonesia meskipun di perbankan negara lain.

"Pemerintah Indonesia juga jangan terlalu berharap banyak terhadap AEoI dengan pihak Singapura mengingat ketatnya syarat dan kondisi yang belum tentu dapat dipenuhi pihak Indonesia dalam waktu dekat ini, serta adanya kepentingan yang berbeda," imbuhnya.

Terobosan yang harus dipertimbangkan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak, yaitu merealisasikan sesegera mungkin pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagaimana yang telah diajukan Presiden ke DPR.

Kemudian peningkatan rasio pajak yang sekarang baru 10,3% harus bisa ditingkatkan minimal menjadi 14% PDB dalam 2-3 tahun ke depan. Dengan PDB yang mendekati Rp 14,000 triliun artinya ada peningkatan 1% atau Rp 140 triliun setiap tahun.

Peningkatan realisasi pajak dilakukan dengan penyederhanaan pemungutan pajak satu dan lain hal untuk mengurangi perkara perkara pajak dan restitusi pajak yang rentan penyelewengan. Pemungutan pajak yang sederhana selain lebih mudah, murah dan praktis pelaksanaannya, juga memberikan kepastian kepada WP.

Contohnya adalah setiap penghasilan bunga dari bank dikenakan PPh Final 20%, suatu jumlah/ tarif pajak yang sebenarnya amat tinggi tetapi karena praktis dan pasti, tidak ada WP yang protes dan aparat pajak juga tidak repot (zero cost of collection) karena pemungutan nya dilaksanakan oleh perbankan.

"Contoh lain adalah pemungutan PPh Final atas transaksi jual beli saham di BEI yang dikenakan 0,1% yang pelaksanaannya oleh PT BEI sehingga praktis aparat pajak tidak perlu mengeluarkan tenaga maupun biaya," tandasnya. (mkj/dnl)Sumber detik.com