Hadapi Asesmen Kedua OECD, Ini Persiapan Ditjen Pajak
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak akan mempersiapkan jauh-jauh hari untuk menghadapi second round assessment dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Persiapan tersebut meliputi sinergi dengan beberapa institusi yang terkait secara langsung dalam pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John L. Hutagaol mengatakan kerja sama yang itu dilakukan dengan menggaet Kementerian Koperasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Perdagangan, dan institusi lain yang terkait.
“Kami sudah punya aturannya untuk mengharmonisasikan antara peraturan yang dimiliki Ditjen Pajak dengan peraturan di luar seperti peraturan pasar modal, bursa efek, PPATK, dan lainnya,” ujarnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Jumat (14/7).
John mengatakan Indonesia harus mampu meningkatkan perangkat pelaksanaan AEoI sesuai standar OECD, sehingga status Indonesia bisa menjadi negara kooperatif (cooperative jurisdiction) dalam keikutsertaan pertukaran data perbankan secara internasional tersebut.
Jika tidak, Indonesia justru akan menanggung status non-cooperative jurisdiction jika dalam menjalankan AEoI tidak mengalami peningkatan maupun perbaikan dalam pelaksanaannya.
Seperti diketahui, sebelumnya Pemerintah pun telah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 untuk meningkatkan status Indonesia. Namun, sayangnya hasil asesmen OECD menetapkan Indonesia ke status partially compliance.
“Ya sebetulnya akan percuma punya Perppu 1/2017 jika ke depannya Indonesia tidak naik kelas. Kelas tertinggi kan ‘compliance’, kami ya harapkan bisa naik ke status itu. Tapi minimal target naik kelas Indonesia ya ‘largely compliance’. Sementara kan saat ini masih di kelas ‘partially compliance’,” tuturnya.
John menegaskan pemerintah harus membenahi dua hal untuk bisa menggapai harapannya ke taraf compliance di mata dunia. “Untuk itu, kami harus benahi dua hal yang penting. Pertama, soal regulasi yang mengatur hal itu. Lalu kedua, mengenai operasionalnya,” ucapnya. (Amu)
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John L. Hutagaol mengatakan kerja sama yang itu dilakukan dengan menggaet Kementerian Koperasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Perdagangan, dan institusi lain yang terkait.
“Kami sudah punya aturannya untuk mengharmonisasikan antara peraturan yang dimiliki Ditjen Pajak dengan peraturan di luar seperti peraturan pasar modal, bursa efek, PPATK, dan lainnya,” ujarnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Jumat (14/7).
John mengatakan Indonesia harus mampu meningkatkan perangkat pelaksanaan AEoI sesuai standar OECD, sehingga status Indonesia bisa menjadi negara kooperatif (cooperative jurisdiction) dalam keikutsertaan pertukaran data perbankan secara internasional tersebut.
Jika tidak, Indonesia justru akan menanggung status non-cooperative jurisdiction jika dalam menjalankan AEoI tidak mengalami peningkatan maupun perbaikan dalam pelaksanaannya.
Seperti diketahui, sebelumnya Pemerintah pun telah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 untuk meningkatkan status Indonesia. Namun, sayangnya hasil asesmen OECD menetapkan Indonesia ke status partially compliance.
“Ya sebetulnya akan percuma punya Perppu 1/2017 jika ke depannya Indonesia tidak naik kelas. Kelas tertinggi kan ‘compliance’, kami ya harapkan bisa naik ke status itu. Tapi minimal target naik kelas Indonesia ya ‘largely compliance’. Sementara kan saat ini masih di kelas ‘partially compliance’,” tuturnya.
John menegaskan pemerintah harus membenahi dua hal untuk bisa menggapai harapannya ke taraf compliance di mata dunia. “Untuk itu, kami harus benahi dua hal yang penting. Pertama, soal regulasi yang mengatur hal itu. Lalu kedua, mengenai operasionalnya,” ucapnya. (Amu)